
PANCASILA SEBAGAI DARUL AHDI WA SYAHADAH DALAM HIMPITAN AMBIGUITAS POLITIK DAN URGENSI USWAH POLITIK
Author(s) -
Ian Zulfikar,
Ma’mun Murod
Publication year - 2020
Publication title -
populis
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2549-7685
pISSN - 2460-4208
DOI - 10.47313/ppl.v4i8.696
Subject(s) - ideology , politics , political science , humanities , law , philosophy
The Pancasila debate as an ideology of the country accompanied the long journey of the Indonesian nation. Muhammadiyah offers a new formula related to Pancasila by calling it Darul Ahdi wa Syahadah, a consensus and witness state. The mention of Pancasila as Darul Ahdi wa Syahadah is an affirmation to strengthen the position of Pancasila as the state ideology. Political reality becomes so pragmatic because political morality is "ambiguous" . Even sadder, immoral political behavior and sticking with abuse of power is actually done by making the Pancasila as a cover or cover. Mental revolution requires fundamental changes that involve material, mental, cultural and political revolutions. The basis and direction of this mental revolution is the value of the Pancasila, especially those contained in the first, second and third precepts. The most important thing in carrying out the Mental Revolution is the need for political ideology (uswah). Uswah gives a lot of examples in religion, an example in terms of moral integrity, which includes the exemplary in establishing a relationship with power. Keywords: Pancasila, Mental Revolution, Political Ambiguity, Political Schools ABSTRAK Perdebatan Pancasila sebagai ideologi negara mengiringi perjalanan panjang bangsa Indonesia. Muhammadiyah menawarkan rumusan baru terkait Pancasila dengan menyebutnya sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, yaitu negara konsensus dan negara kesaksian. Penyebutan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah merupakan penegasan untuk memperkuat posisi Pancasila sebagai ideologi negara. Realitas politik menjadi begitu pragmatis lantaran moralitas politik yang “mendua” (ambigu). Lebih menyedihkan lagi, perilaku politik amoral dan lekat dengan abuse of power justru dilakukan dengan menjadikan Pancasila sebagai kedok atau tameng berlindung. Revolusi mental menghendaki adanya perubahan mendasar yang melibatkan revolusi material, mental kultural, dan political. Dasar dan haluan revolusi mental ini adalah nilai Pancasila, terutama yang terdapat dalam sila pertama, kedua, dan ketiga.Yang paling penting dalam melakukan Revolusi Mental adalah perlunya keteladanan (uswah) politik. Uswah memberikan banyak keteladanan dalam beragama, keteladanan dalam hal integritas moral, yang termasuk di dalamnya adalah keteladanan dalam menjalin relasi dengan kekuasaan. Kata Kunci: Pancasila, Revolusi Mental, Ambiguitas Politik, Uswah Politik