
Inkonsistensi Tentang Pemberhentian Kepala Negara Menurut Konstitusi Indonesia
Author(s) -
Aryo Akbar
Publication year - 2021
Publication title -
jurnal administrasi politik dan sosial
Language(s) - Italian
Resource type - Journals
eISSN - 2722-161X
pISSN - 2722-1601
DOI - 10.46730/japs.v2i1.15
Subject(s) - political science , humanities , philosophy
Demokrasi dalam sebuah negara dapat di artikan bahwa seluruh kekuasaan dan kewenangannya harus berdasarkan sebuah aturan yang di sepakati bersama yang di cantumkan dalam sebuah konstitusi negara. Bangsa ketika melaksanakan demokrasi tentu bertujuan untuk menggerakkan roda kekuasaan. Salah satu faktor penyebab orang menjadi peminpin adalah guna menjalankan kekuasaan dalam sebuah negara tersebut harus didasarkan pada keinginan rakyat dalam negara tersebut. Hal tersebut juga terjadi terhadap seorang Presiden yang dipilih oleh rakyat. Presiden merupakan orang yang diberikan kewenanagan dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan atas keinginan rakyat. Kewenangan dalam menjalankan roda pemerintahan ini diberikan pada bidang eksekutif dan harus di pertanggumgjawabkan pada Parlemen atau bidang Legislatif yang mana parlemen tersebut merupakan representatif dari rakyat. Tata cara/mekanisme pemberhentian presiden setelah amandemen di atur dalam pasal 7A dan 7B Undang-undang Dasar 1945 yang melibatkan sebuah peradilan yakni Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada pasal 24 C ayat 2 pada konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi yang bagi beberapa ahli juga berpendapat sebagai peradilan politik tentu saja dalam menjalankan tugasnya tentu saja tidak lepas dari pengaruh dinamika politik yang berkembang pada saat itu. Memberhentikan presiden/wakil presiden bukanlah sebuah perkara mudah, Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan laporan dan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) sebagai penerjemahan prinsip “check and balance system”. Dukungan politik tentu sangat berpengaruh terhadap pemberhentian kepala negara. Unsur politik lebih berpengaruh dibandingkan putusan yang diberikan oleh mahkamah konstitusi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahan yang dibuktikan melalui pemeriksaan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dan dituangkan dalam bentuk putusan. Tidak ada ketentuan dalam konstitusi mewajibkan MPR untuk melakukan putusan yang telah dilakukan lembaga mahkamah konstitusi mengenai pemberhentian terhadap kepala negara tidak memiliki akibat hukum atau sanksi sehingga tidak dilaksanakannya putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi akan menimbulkan ketidakpastian hukum bila tidak dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat selaku eksekutor dari putusan Mahkamah Konstitusi. Idealnya seharusnya putusan yang dibuat atau dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi harus segera dijalankan dengan dibawa kesidang istimewa guna menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tanpa melakukan voting lagi. Bila voting dilakukan otomatis jika suara terbanyak tidak menerima putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi maka pemberhentian Kepala Negara mengalami jalan buntu