
PENOLAKAN PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA (PBNU) TERHADAP KESAKSIAN HASIL RUKYAT DI BAWAH KRITERIA IMKAN AL-RUKYAH DARI TAHUN 1998 – 2017
Author(s) -
Rizalludin
Publication year - 2020
Publication title -
jurnal alwatzikhoebillah : kajian islam, pendidikan, ekonomi, humaniora/jurnal alwatzikhoebillah b (online)
Language(s) - Romanian
Resource type - Journals
eISSN - 2548-7396
pISSN - 2442-384X
DOI - 10.37567/alwatzikhoebillah.v6i2.274
Subject(s) - physics , humanities , philosophy
NU yang dikenal konsisten dengan rukyat sebagai penentu awal bulan kamariah, dalam prakteknya tidak semua laporan kesaksian rukyat diterima. Ada 9 kesaksian rukyat yang dianggap tidak sah dari tahun 1998-2017, yaitu tahun 1998, 2001, 2002, 2006, 2007, 2011, 2012, 2013 dan 2017. Akibatnya, 9 kesaksian tersebut ditolak oleh PBNU karena menurut hisab kontemporer di lokasi rukyat belum mencapai kriteria Imkan al-rukyah dengan indikator minimal tinggi hilal 2 derajat, umur bulan 8 jam, atau jarak Matahari-Bulan 3 derajat (elongasi). Pendapat Ibn Hajar al-Haitami yang menyatakan bahwa syahadat (kesaksian melihat hilal) dapat ditolak jika ahli hisāb sepakat memustahilkannya, dan dapat diterima jika para ahli hisāb masih memperselisihkannya sebagai dasar pegangan penolakan PBNU. Adapun alasan PBNU menjadikan kriteria Imkan al-rukyah sebagai dasar penolakan adalah; (1) untuk meningkatkan kualitas rukyat dengan didukung oleh Metode hisab tahkiki tadkiki/ashri, NUMO (Nahdlatul Ulama Mobile Observatory), rukyat setiap bulan kamariah, banyaknya lokasi rukyat ideal; (2) Bersama-sama mengawali awal bulan dengan pemerintah; (3) Praktek di lapangan; dan (4) Menghindari orang-orang yang berlaku manipulatif. Dan ditemukan implikasi dari penolakannya yaitu; (1) meningkatnya kualitas rukyat; (2) NU dan Pemerintah cenderung bisa bersama dibandingkan dengan terjadinya perbedaan; (3) ikhbar terlambat; (4) berbedanya antara PBNU dan PWNU Jawa Timur tahun 1998, 2001 dan 2006; (5) menurunnya semangat rukyat; dan (6) tidak berani bersaksi (timbul keragu-raguan). Adapun saran penulis demi terciptanya konsistensi rukyat sebagai penentu awal bulan kamariah adalah; Pertama, dengan konsistensi NU dalam menerapkan Imkan al-rukyah di masing-masing lokasi rukyat, secara tegas NU dapat menolak apabila terdapat kesaksian rukyat yang secara perhitungan kontemporer belum memenuhi batas minimal Imkan al-rukyah. Tetapi jika pada saat penetapan ternyata pemerintah melalui sidang isbat menerima kesaksian tersebut dan menjadikan dasar rukyat sebagai penentu masuknya bulan baru, maka NU taat terhadap keputusan pemerintah demi menghilangkan perbedaan; Kedua, pada saat ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia telah mencapai batas minimal Imkan al-rukyah, namun faktanya tidak ada yang berhasil melihat hilal, maka NU menetapkan awal bulan atas dasar istikmal, walaupun pada saat itu pemerintah melalui sidang isbat menetapkan berdasarkan hisab Imkan al-rukyah. Karena pemerintah menetapkan masuknya bulan baru hanya berdasarkan hisab dan mengabaikan rukyat, NU tidak perlu taat dan ikut ketetapan tersebut.