Open Access
Primary Percutaneous Coronary Intervention (Primary PCI), Senjata "Baru" Untuk Melawan Serangan Jantung Akut
Author(s) -
Sodiqur Rifki
Publication year - 2013
Publication title -
medica hospitalia: journal of clinical medicine/medica hospitalia
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2685-7898
pISSN - 2301-4369
DOI - 10.36408/mhjcm.v1i2.61
Subject(s) - medicine , conventional pci , gynecology , percutaneous coronary intervention , humanities , myocardial infarction , philosophy
Serangan jantung akut atau infark miokard akut (acute myocardial infarction) adalah suatu momok yang mengerikan. Keluhan nyeri dadanya begitu menakutkan sehingga bisa membuat seorang perokok fanatik yang sudah puluhan tahun merokok dan tidak pernah mau mendengar saran dari siapapun, termasuk cucunya, tiba- tiba mau berhenti merokok seketika. Seorang yang pernah mengalami serangan ini mengatakan bahwa rasa ajal mau menjemput (feeling of death) itu begitu menakutkan, sehingga membuatnya tak ingin mengalaminya lagi.
Dari semua pasien infark miokard, 25–35% akan meninggal sebelum mendapat pengobatan, umumnya disebabkan oleh gangguan irama jantung yang letal, yaitu fibrilasi ventrikel.1,2 Pasien yang berhasil sampai ke rumah sakit dari tahun ke tahun semakin menurun angka kematiannya. Penurunan tersebut terjadi karena beberapa hal, terutama sejak adanya perawatan CCU (Coronary Care Unit) dan dikembangkannya terapi reperfusi baik secara farmakologis dengan obat fibrinolitik maupun reperfusi mekanik dengan percutaneous coronary intervention (PCI). Sayangnya, data nasional Indonesia belum ada, tetapi analisis data register nasional di Amerika Serikat menunjukkan penurunan angka kematian pasien infark miokard yang mendapatkan terapi reperfusi jauh lebih rendah (5,7%), dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan terapi reperfusi (14.8%).