z-logo
open-access-imgOpen Access
DUALISME YURISDIKSI ANTARA PERADILAN UMUM DAN PERADILAN AGAMA TERHADAP SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Author(s) -
Jesi Aryanto
Publication year - 2019
Publication title -
adil : jurnal hukum/jurnal hukum adil
Language(s) - Uncategorized
Resource type - Journals
eISSN - 2597-9884
pISSN - 2086-6054
DOI - 10.33476/ajl.v3i1.836
Subject(s) - physics , humanities , political science , art
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tetang Perbankan Syariah. Ketetuan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) telah terjadi contradictio in terminis. Pada penjelasan ayat (2) huruf d frasa “Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum” telah diposisikan sebagai penyelesaian non litigasi merupakan penempatan norma yang keliru. Oleh karenanya, ketentuan tersebut haruslah dikesampingkan dikarenakan Peradilan Umum merupakan penyelesaian litigasi. Berdasarkan asas personalitas keislaman dan asas penundukan diri secara sukarela kepada hukum Islam, sebagaimana ketentuan UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya bank syariah menjadi kewenangan peradilan agama. Selain itu, asas lex specialis derogate legi generalis, yaitu aturan khusus mengenyampingkan aturan yang umum. Dalam hal ini, ketentuan UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah sebagai aturan khusus yang mengenyampingkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya pada huruf d UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan aturan umum. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tidaklah bersifat absolut sepanjang bertentangan dengan syariah, dan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka perikatan/perjanjian tersebut boleh dilaksanakan. Prinsip utama penyelesaian sengketa syariah adalah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7) jo. Pasal 2 UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada dasarnya penerapan sanksi baik berupa denda terhadap setiap keterlambatan pembayaran utang oleh nasabah mampu yang sengaja melalaikan dan menunda-nunda kewajibannya untuk melaksanakan pembayaran, maupun sanksi dwangsom (uang paksa) terhadap perbuatan wanprestasi yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan kelalaian, maka sanksi tersebut dapat dijatuhkan sepanjang telah disepakati dalam akad yang telah ditandatangani bersama oleh para pihak, yang bertujuan untuk menegakkan maqasyd syariah agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Hal ini sejalan dengan al-Quran (QS. Al-Baqarah: 280) dan al-Hadits serta fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here