
Penalaran Hukum dan Penemuan Kebenaran
Author(s) -
Indah Febriani
Publication year - 2020
Publication title -
legalitas/legalitas : jurnal hukum
Language(s) - Slovenian
Resource type - Journals
eISSN - 2597-8861
pISSN - 2085-0212
DOI - 10.33087/legalitas.v12i1.190
Subject(s) - humanities , philosophy , physics
Tulisan ini mengkaji korelasi antara penalaran hukum dengan penemuan kebenaran, masing-masing dipandang sebagai independent variable dan dependent variable. Dengan menggunakan penalaran yang berbasis pada logika baik induksi maupun deduksi, diduga manusia dapat menemukan kebenaran. Permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah apakah penerapan penalaran induksi maupun deduksi yang diterapkan pada ilmu hukum (jurisprudence), yang tidak tergolong dalam kelompok ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial dapat memmbantu manusia menemukan kebenaran?. Penerapan kedua penalaran itu di bidang hukum melahirkan suatu bentuk penalaran hukum atau legal reasoning. Namun penerapan kedua penalaran itu pada hukum bukanlah pekara mudah, hal ini disebabkan ilmu hukum memiliki sifat khas atau sui generis yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sifat khas ilmu hukum itu adalah preskriptif (seharusnya) dan sekaligus ilmu terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, Ilmu Hukum mempelajari nilai, asas, norma keberlakuan hukum, dan tujuan hukum. Untuk mewujudkan tujuan hukum itu maka diciptakanlah cara-cara atau sarana untuk mencapai tujuan itu. Cara itu diwujudkan dalam bentuk tata cara atau prosedur yang harus dilakukan oleh subjek hukum dalam menciptakan norma-norma hukum yang berlandaskan pada nilai dan asas hukum. Dengan demikian penemuan kebenaran tidak lain adalah menciptakan norma-norma yang berfungsi untuk mewujudkan tujuan hukum itu. Norma hukum tersebut dapat diwujudkan berupa penyataan hukum (rechtsbeslissing) yang terwujud dalam norma hukum umum dan norma hukum individuil. Bagi Hans Kelsen norma umum harus diwujudkan terlebih dahulu sehingga ia menjadi landasan bagi perwujudan norma individuil, sebaliknya bagi Ter Haar adanya norma umum dapat lahir berbarengan dengan terwujudnya norma individuil. Dengan perkataan lain dari norma individuil lantas dapat ditarik kesimpulan adanya norma umum. Bila pandangan Kelsen yang lebih menekankan penalaran deduksi yang bertitik tolak dari norma umum dalam rangka mewujudkan norma individuil mendominasi tradisi hukum Eropah Kontinental, maka pandangan Ter Haar yang merupakan tokoh Hukum Adat Indonesia yang lebih menekankan pola penalaran induksi yang mendominasi dalam tradisi hukum Anglo Saxon. Bila ilmu alam dan ilmu sosial yang tergolong dalam “science” mengandung makna verifikasi empiris, sebaliknya ilmu hukum yang bersifat sui generis mengandung makna verifikasi preskriptif. Verifikasi empiris mengharuskan bahwa konsekwensi-konsekwensi dari suatu sebab harus terjadi sesuai dengan kenyataan yang dapat dialami, akan tetapi dalam hukum keharusan itu musti terjadi (preskriptif) menurut apa yang telah ditentukan. Keharusan yang musti terjadi itu baru dapat terwujud bila ada campur tangan manusia, oleh sebab itulah keharusan dalam hukum itu berbeda dengan keharusan alami, ia lebih tepat disebut keharusan moral (sollen). Adanya campur tangan manusia dalam keharusan moral dapat menyebabkan keharusan itu dapat terwujud atau tidak dapat terwujud. Bila perwujudan keharusan itu sesuai dengan tujuan hukum maka itulah telah diketemukan kebenaran, sebaliknya bila perwujudan keharusan itu tidak sesuai dengan tujuan hukum maka tidak atau belum diketemukan kebenaran.