z-logo
open-access-imgOpen Access
Kedudukan Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan (Studi Pasal 26 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)
Author(s) -
Darsi Darsi
Publication year - 2017
Publication title -
al-qisthu/al-qisthu
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2654-3559
pISSN - 1858-1099
DOI - 10.32694/010420
Subject(s) - humanities , art , political science
Jaksa  merupakan  salah  satu pihak  yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan. Lalu, bagaimana kedudukan jaksa dalam pembatalan perkawinan menurut undang-undang dan bagaimana hukum Islam memandang hal tersebut. Dengan metode library research (penelitian kepustakaan), didukung dengan data-data lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa berdasarkan penjelasan pasal 26 ayat  (1), jaksa merupakan salah salah satu pihak yang memiliki kedudukan dan wewenang dalam pembatalan perkawinan. Yaitu sebagai pemohon atau penggugat. Namun  demikian, dalam undang-undang tersebut tidak diatur secara detail mengenai tugas dan  tatacara jaksa dalam melakukan pembatalan perkawinan. Tugas dan wewenang jaksa telah diatur sendiri dalam undang-undang No. 16 tahun 2004. Di antaranya dalam bidang  perdata, jaksa dapat bertindak sebagai kuasa khusus. Ini pun tidak secara detail dijelaskan tentang  tugas  dan kedudukannya dalam pembatalan perkawinan. Dalam pandangan hukum Islam, istilah jaksa memang tidak dikenal. Namun, mengenai masalah pembatalan perkawinan Islam telah mengenalnya dan mengaturnya.   Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan adalah dari suami atau isteri, garis keturunan suami isteri lurus ke atas, atau kerabat suami-isteri.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here