z-logo
open-access-imgOpen Access
PEMAKZULAN KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN NIKAH SIRI BERDASARKAN PASAL 67B UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Author(s) -
Budimansyah Budimansyah
Publication year - 2020
Publication title -
jurnal hukum media bhakti
Language(s) - Uzbek
Resource type - Journals
eISSN - 2580-7277
pISSN - 2580-3298
DOI - 10.32501/jhmb.v2i1.19
Subject(s) - humanities , physics , political science , philosophy
Kepala daerah merupakan pemimpin di daerah baik pada tataran pemerintah  Kabupaten/Kota atau Provinsi.  Sebagai pemimpin di daerah sepatutnya dalam setiap  tindak tanduk dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari harus mencerminkan bahwa  ia seorang pemimpin di daerah yang menjadi panutan dan pemberi contoh yang baik  bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat fitrah  baik dipandang dari sisi agama, negara maupun hak asasi manusia (HAM). Setiap warga negara maupun pejabat  berhak untuk menikah kapan dan dengan siapa  saja sesuai  dengan pilihannya masing-masing, termasuk dalam melakukan nikah siri dan poligami.  Aturan agama memberikan ruang untuk umatnya dalam melangsungkan nikah siri dan  poligami sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi sehingga apabila syarat dan  rukunnya terpenuhi  maka dalam pandangan agama pernikahan tersebut  adalah  pernikahan yang sah hukumnya.  Kebebasan dalam melakukan nikah siri yang  disandarkan pada syarat dan rukun yang diatur oleh agama dalam kenyataannya berbeda  dengan regulasi yang diatur oleh negara. Dalam pandangan agama, nikah siri adalah sah  apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan, namun dalam hukum negara yaitu  Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (undang-undang perkawinan) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan  perundang-undangan yang berlaku  yaitu dengan mendaftarkan setiap perkawinan agar  dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Persoalannya menjadi dilematis  ketika yang melakukan nikah siri adalah seorang kepala daerah karena melakukan suatu  perbuatan  yang  tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Permasalahan dalam penelitian  ini adalah bagaimana pemakzulan kepala daerah yang  melakukan nikah siri berdasarkan Pasal 67B Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah.  Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan  bagaimana pemakzulan kepala daerah yang melakukan nikah siri berdasarkan Pasal 67B  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun jenis  penelitian  ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data  kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan  tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode  pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data  bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa seorang kepala daerah  yang melakukan nikah siri telah melanggar ketentuan  Pasal 67B Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa dalam  melaksanakan tugas  jabatannya kepala daerah harus mentaati dan menegakkan seluruh 41    peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dilakukan pemakzulan karena telah  melanggar sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah  dengan melibatkan 3 (tiga)  lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Mahakamah Agung  dan Presiden.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here