
Polemik Pencatatan Anak Dari Nikah Siri
Author(s) -
Agus Manurung,
Lusia Sulastri
Publication year - 2021
Publication title -
jurnal hukum sasana
Language(s) - Spanish
Resource type - Journals
eISSN - 2722-3779
pISSN - 2461-0453
DOI - 10.31599/sasana.v7i2.858
Subject(s) - humanities , philosophy , physics
Pasangan nikah siri saat ini bisa memiliki KK baru dengan syarat melengkapi data formulir Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Dokumen SPTJM sendiri terdiri dari dua hal. Pertama, SPTJM Kebenaran Data Kelahiran yang dibuat orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung jawab penuh atas kebenaran data kelahiran seseorang dengan diketahui oleh dua orang saksi. Kedua, SPTJM Kebenaran Sebagai Pasangan Suami Istri yang dibuat oleh orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung jawab penuh atas status hubungan perkawinan seseorang dengan diketahui dua orang saksi. Pencatatan anak hasil nikah siri melalui Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran masih menimbulkan permasalahan hukum, tidak terpenuhinya akta nikah/kutipan akta perkawinan dan status hubungan keluarga pada KK yang tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri, maka data yang dicatat dalam kutipan akta kelahiran sang anak hanya nama ibu kandungnya saja. Tidak sekaligus mencantumkan nama bapaknya sebagaimana halnya dalam perkawinan yang sah. Sehingga sang anak masih memerlukan pembuktian siapakah bapaknya apabila diperlukan di kemudian hari. Disamping dalam upaya pembuktian akan banyak mengalami hambatan karena keberadaan KK baru melalui dokumen SPTJM memiliki kekuatan pembuktian yang lemah karena sebatas pengakuan sepihak penandatangan. Serta halangan halangan lain yang sengaja ditimbulkan para pihak yang berperkara. Kedudukan istri siri sendiri sangat rentan terhadap perlindungan hukumnya pula. Tidak adanya status kedudukan hukum sebagai istri yang sah maka belum timbul hubungan hukum timbal balik hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri. Pemenuhan hak dan kewajiban masing masing belum dapat menggunakan dasar tuntutan pemenuhan hukum melainkan hanya sebatas tahapan iktikad baik masing masing pihak.