
SONOR DAN BIAS "CETAK SAWAH" DI LAHAN GAMBUT
Author(s) -
Ciptaningrat Larastiti
Publication year - 2018
Publication title -
bhumi : jurnal agraria dan pertanahan/bhumi : jurnal agraria dan pertanahan
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2580-2151
pISSN - 2442-6954
DOI - 10.31292/jb.v4i1.208
Subject(s) - forestry , geography , agroforestry , environmental science
Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice feld called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern feld rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fre disaster in 2015. The research was done a year after forest fre 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swiddenagriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, frst, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social dierentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean ofpeasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimanaproyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metodeetnograf yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untuk pengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terusmenyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gap yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudahada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani.