
KEARIFAN LOKAL TAHLILAN-YASINAN DALAM DUA PERSPEKTIF MENURUT MUHAMMADIYAH
Author(s) -
Khairani Faizah
Publication year - 2018
Publication title -
aqlam
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2528-0341
pISSN - 2528-0333
DOI - 10.30984/ajip.v3i2.722
Subject(s) - worship , ceremony , soul , heaven , premise , interpretation (philosophy) , sociology , humanities , art , philosophy , theology , epistemology , linguistics
. Tahlilan or selamatan have been rooted and become a custom in the Javanese society. Beginning of the selamatan or tahlilan is derived from the ceremony of ancestors worship of the Nusantara who are Hindus and Buddhists. Indeed tahlilan-yasinan is a form of local wisdom from the worship ceremony. The ceremony as a form of respect for people who have released a world that is set at a time like the name of tahlilan-yasinan. In the perspective of Muhammadiyah, the innocent tahlilan-yasinan with the premise that human beings have reached the points that will only get the reward for their own practice. In addition, Muhammadiyah people as well as many who do tahlilan-yasinan ritual are received tahlian-yasinan as a form of cultural expression. Therefore, this paper conveys how Muhammadiyah deal with it in two perspectives and this paper is using qualitative method. Both views are based on the interpretation of the journey of the human spirit. The human spirit, writing apart from the body, will return to God. Whether the soul can accept the submissions or not, the fact that know the provisions of a spirit other than Allah swt. All human charity can not save itself from the punishment of hell and can not put it into heaven other than by the grace of Allah swt.Keywords: Tahlilan, Bid’ah, MuhammadiyahAbstrak. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat Jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya. Awal mula dari acara Selamatan atau tahlilan tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek moyang bangsa Nusantara yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Sejatinya tahlilan merupakan satu bentuk kearifan lokal dari upacara peribadatan. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Dalam perspektif Muhammadiyah, tahlilan bersifat bid’ah dengan dasar pemikiran bahwa manusia ketika ia telah meninggal hanya akan mendapatkan pahala atas perbuatan yang mereka kerjakan sendiri. Sedangkan dalam perspektif lain, orang Muhammadiyah, secara kultural, juga banyak yang melakukan ritual tahlilan-yasinan sebagai bentuk ekspresi budaya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak membentangkan dua sudut pandang mengenai tahlilan-yasinan dalam perspektif Muhammadiyah. Kedua pandangan itu secara garis besar berkaitan dengan tafsir atas perjalanan ruh manusia. Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad, akan kembali kepada Allah saw. Apakah ruh dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui urusan ruh selain Allah swt. Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan tidak pula dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah swt.Kata Kunci: Tahlilan, Bid’ah, Muhammadiyah