z-logo
open-access-imgOpen Access
PERKAWINAN POLITIK DAN INTEGRASI DI SULAWESI SELATAN ABAD XVII-XVIII
Author(s) -
R. A. Yeni Widiawati
Publication year - 2013
Publication title -
patanjala : jurnal penelitian sejarah dan budaya
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2598-1242
pISSN - 2085-9937
DOI - 10.30959/patanjala.v5i3.79
Subject(s) - politics , humanities , treaty , political science , art , law
AbstrakPasca perjanjian Bungaya 1667, perkawinan politik digunakan sebagai salah satu strategi dalam membangun kekuatan. Strategi ini bukanlah hal baru dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan. Sejak dahulu strategi ini juga dilakukan, oleh para bangsawan Bugis-Makassar yang berhasil menanamkan kekuasaan di wilayah lain. Namun demikian, perkawinan politik yang terjadi pasca Perjanjian Bungaya adalah perkawinan politik yang dilakukan antara kerajaan yang bertujuan membina ikatan kekerabatan yang luas untuk akhirnya membangun kebersamaan dalam rangka membangun kekuatan. Perkawinan politik tidak saja terjadi antara dua insan dari keluarga jauh, tetapi juga dilakukan antara dua insan yang masih memiliki hubungan keluarga dekat, yaitu sepupu satu kali, dua kali dan sepupu tiga kali.Strategi ini ditempuh karena perkawinan bagi orang Bugis-Makassar, bermakna saling mengambil satu sama lain. Perkawinan tidak melibatkan laki-laki dan perempuan yang kawin saja, melainkan kerabat kedua belah pihak dengan tujuan memperbaharui dan memperkuat hubungan keduanya. Perkawinan politik akhirnya membuahkan hasil dengan terjadinya integrasi di Sulawesi Selatan.Tulisan ini disajikan secara deskriptif analitis dengan menggunakan 4 (empat) tahap penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya. AbstractAfter the Treaty of Bongaya in 1667, political marriage used as strategic to build power. This strategy is not new in the long history of South Sulawesi. Political Marriage has been done long ago by the Bugis-Makasar nobles. This strategy made the nobles succeed to instill power in other areas. However, political marriages, which occurred after the Treaty of Bongaya, were marriages that carried out by two kingdoms. The purpose of those marriages is to build extensive kinship and power. Political marriage does not just happen between two people from different family, but also done by two people from the same kinship. This strategy adopted because in Bugis-Makasar perspective, marriage means taking each other. Marriage does not just involve men and women who marry, but also involve relatives both sides with purpose to renew and strengthen their relationship. Through a political marriage, South Sulawesi can be unified. This research used historical method, which consist of four phases: heuristics, critics, interpretation, and historiography.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here