
HADITS MISOGINIS PERSPEKTIF GENDER DAN FEMINISME
Author(s) -
Ade Marhamah Muhtadin
Publication year - 2019
Publication title -
at-tibyan
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2614-7068
pISSN - 2614-5774
DOI - 10.30631/atb.v2i2.1
Subject(s) - humanities , philosophy
Maraknya berita tentang kekerasan pada perempuan di media sosial menjadi bukti bahwa kekerasan pada perempuan tidak pernah usai. Indonesia dengan struktur sosial budaya patriarki yang masih melekat kuat pada masyarakat menghasilkan stigma perempuan sebagai makhluk nomor dua dari laki-laki, dianggap lemah dan harus menuruti apa yang menjadi keinginan laki-laki itu sendiri. Fakta-fakta yang muncul dari lingkungan masyarakat tersebut memunculkan kekhawatiran, akan terjadinya kekerasan fisik atau verbal khususnya kepada perempuan. Bahkan tidak jarang kekerasan tersebut disertai atas nama ayat-ayat suci dan hadits- hadits nabi sebagai legitimasi atas perbuatan pelaku. Padahal jika dilihat dari al-Quran itu sendiri, al-Quran mengandung ayat-ayat yang memuliakan perempuan. Jika hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi, tentunya Nabi tidak mungkin mengajarkan kekerasan pada perempuan. Mengingat nabi digambarkan dalam al-Quran al-Karim sebagai uswatun hasanah. Tidak hanya itu, menurut sejarah (sirah nabawiyyah), Nabi juga senantiasa memuliakan dan menghormati perempuan. Tujuan tulisan ini adalah untuk menganalisis bagaimana kemunculan hadits-hadits yang menunjukkan ketidakadilan pada perempuan melalui pendekatan feminisme dan gender dengan sejarah yang mendampinginya. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat tiga formulasi pembacaan kaum feminis terhadap hadits misogini. Pertama, ada pembawa hadits pada salah satu atau lebih level sanad yang menggunakan hadits secara politis untuk mendukung tegaknya tradisi patriarkal. Kedua, metodologi kritik hadits yang lebih berorientasi untuk mengungkap keshahihan sanad pada matan serta berpihak pada truth claim yang berakibat adanya suatu generasi tertentu yang dipandang tanpa cacat dalam meriwayatkan hadits. Ketiga, pemahaman matan hadits yang dilakukan secara doktrinal-normatif tanpa melihat proses hermeneutis yang terjadi seputar pembentukan teks (penyingkapan pesan moral teks). Implikasi dari tulisan ini adalah perlunya kesadaran para peneliti hadits dalam memahami dan menerima sebuah hadits secara kompleks, jangan hanya terfokus pada kebenaran sanad hadits, namun perlu memperjelas kesesuaian teks/matan hadits dengan konteks setiap zaman.