z-logo
open-access-imgOpen Access
MENGENANG KOTA HILANG. KEMBALINYA HARMONI GLAGAHARUM SIDOARJO
Author(s) -
Shaellina Alfath Mauludy,
Sutarki Sutisna
Publication year - 2022
Publication title -
jurnal sains, teknologi, urban, perancangan, arsitektur
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2685-6263
pISSN - 2685-5631
DOI - 10.24912/stupa.v3i2.12405
Subject(s) - mudflow , improvisation , livelihood , sociology , harmony (color) , solidarity , narrative , political science , archaeology , history , landslide , engineering , law , visual arts , art , geotechnical engineering , literature , politics , agriculture
The Lapindo Mudflow is an environmental disaster caused by human activities that brings sorrow and misery to the victims and local residents, their story is now starting to be forgotten. Glagaharum village was chosen as the site for this project, because of the residents stories as the “Last Inhabitants” who chose to stay firm in their village alongside with the mud embankment, they chose to survive to preserve the memories of their lives in that village even though their livelihood were lost in the Lapindo Mudflow. This project aims to build awareness of the Lapindo Mudflow disaster as a lesson learned from human activities, remembering the struggle of the disaster victims in fighting for the rights and harmony that they used to get. Using narrative method inspired by R. Giryadi’s “Mengenang Kota Hilang” as the spatial program flow created in the Reminiscing Area. And then, using Social Practice Theory by Pierre-Felix Bourdieu to restore social harmony, that created Economy Area and Socio-Cultural Area as a space for residents to gather, make and sell ceramic art from Lapindo Mudflow which became the new livelihood of local residents. And the provision of mud filtration and clean water that can be used by local residents. This project has 4 out of 6 parameters “Beyond Ecology” namely Adaptation, Resilience, Sustainable Digital, and Context. A project that becomes hope as the final destination of all the problems felt by disaster victims, and as a place where they can always keep their memories.  Keywords:  Beyond Ecology; Lapindo Mudflow; Reminiscing; Sidoarjo; The Lost City. AbstrakLumpur Lapindo merupakan bencana alam akibat ulah manusia yang membawa kesedihan dan keterpurukan bagi korban dan warga sekitar, kisah mereka yang kini semakin hari semakin terlupakan. Desa Glagaharum dipilih karena kisah warganya sebagai “Penghuni Terakhir” yang memilih bertahan pada desanya yang bersebelahan dengan tanggul lumpur, memilih bertahan untuk menjaga kenangan kehidupan mereka yang tumbuh besar di desa ini meski mata pencahariannya hilang dalam Lumpur Lapindo. Proyek ini dibuat untuk membangun kenangan kejadian bencana alam Lumpur Lapindo sebagai pembelajaran akibat ulah manusia, mengenang perjuangan para korban bencana dalam memperjuangkan hak dan keharmonian yang mereka dulu dapatkan. Menggunakan metode narasi yang dilatar belakangi oleh cerita pendek R. Giryadi “Mengenang Kota Hilang” sebagai alur program ruang yang tercipta pada Area Mengenang. Lalu, penggunaan Teori Parktik Sosial oleh Pierre-Felix Bourdieu untuk mengembalikan harmoni sosial, menciptakan Area Ekonomi dan Area Sosial-Budaya sebagai ruang warga untuk berkumpul, membuat dan menjual karya seni keramik dari Lumpur Lapindo yang menjadi mata pencaharian baru warga setempat. Dan adanya penyediaan filtrasi lumpur dan air bersih yang dapat digunakan oleh warga sekitar. Proyek ini memiliki 4 dari 6 parameter “Melampaui Ekologi” yaitu, Adaptation, Resilience, Sustainable Digital, dan Context. Proyek yang menjadi harapan sebagai tempat tujuan akhir dari semua permasalahan yang dirasakan oleh para korban bencana, dan sebagai tempat yang dapat selalu menjaga kenangannya.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here