
Hukum Talak dalam Kondisi Mabuk Perspektif Ibn Rusyd
Author(s) -
Mursyid Djawas,
Azka Amalia Jihad,
Kemala Dewi
Publication year - 2021
Publication title -
el-usrah
Language(s) - Italian
Resource type - Journals
eISSN - 2620-8083
pISSN - 2620-8075
DOI - 10.22373/ujhk.v4i1.8567
Subject(s) - philosophy , humanities , political science
Para ulama masih berbeda pendapat terkait talak orang yang sedang mabuk. Ada ulama yang menyatakan talak orang yang sedang mabuk tidak jatuh. Namunn ada juga ulama yang berpandangan talak orang mabuk dibolehkan. Salah satu tokoh ulama yang pendapat dibolehkan yaitu Ibn Rusyd yang berpandangan bahwa talak orang mabuk dibolehkan, talaknya dipandang jatuh. Perbedaan pandangan tersebut yang kemudian menarik untuk dikaji perspektif Ibn Rusyd tentang hukum talak kondisi mabuk, dalil dan metode istinbāṭ hukum Ibn Rusyd dalam menetapkan hukum talak saat kondisi mabuk, serta relevansi pendapat Ibn Rusyd terkait hukum talak dalam keadaan mabuk dalam konteks kekinian. Pendekatan kualitatif digunakan dalam kajian untuk mendapatkan pandangan Ibn Rusyd terkait hal tersebut. Menurut Ibn Rusyd, talak dalam kondisi mabuk dibagi ke dalam dua kriteria. Pertama, talak dalam kondisi mabuk yang mabuknya tidak disengaja, maka talaknya tidak sah dan tidak jatuh. Kedua, talak dalam kondisi mabuk yang mabuknya disengaja, maka talak suami jatuh. Orang mabuk berbeda dengan orang gila. Orang mabuk merusak akal sehatnya dengan keinginannya sendiri, sedangkan orang gila tidaklah seperti itu, hal itulah yang menyebakan talak orang mabuk tetap jatuh, hal itu merupakan bentuk pemberatan baginya. Dalil yang digunakan Ibn Rusyd mengacu pada surat al-Baqarah ayat 229, riwayat Malik dari Sa’id bin Musayyab dan Sulaiman bin Yasar, serta atsar sahabat, yaitu Umar Bin Khatthab. Adapun metode istinbath hukum yang digunakan Ibn Rusyd ialah metode bayani dan ta’lili. Dalam konteks kekinian, talak kondisi mabuk mungkin sekali ada dan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, talak suami dalam kondisi mabuk dan dilakukan di luar peradilan secara hukum tidak memiliki kekuatan hukum, kecuali suami mengajukan permohonan talak ke Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama di tempat domisilinya. Untuk itu, pandangan Ibn Rusyd tentang jatuhnya talak dalam kondisi mabuk yang disengaja tidak relevan dengan konteks saat ini, sebab talak hanya diakui di depan pengadilan.