Open Access
Praktik Ritual Mopo’a Huta (Memberi Makan pada Tanah) pada Masyarakat Gorontalo di Desa Molamahu
Author(s) -
Momy A. Hunowu,
Hatim Badu Pakuna
Publication year - 2020
Publication title -
jurnal sosiologi agama indonesia
Language(s) - English
Resource type - Journals
ISSN - 2722-6700
DOI - 10.22373/jsai.v1i1.422
Subject(s) - procession , dance , sociology , ethnology , history , art , archaeology , visual arts
The mopo’a huta ritual is a ritual practiced by Gorontalo people when the dry season arrives. By carrying out this ritual, people believe that rain will fall and fertility and prosperity will come. This ritual has been carried out since hundreds of years ago, but nowadays it has begun to be opposed by several groups. This study aims to find out how the practice of the mopo'a Huta ritual, how the public view of the mopo'a huta ritual using Geertz's perspective. The study used a qualitative approach with case studies, conducted interviews with the organizers, made observations during the procession, and explored the results of previous research. The study found that the mopo'a huta ritual in practice held a dance (dayango) accompanied by the wasps of towohu (drums) for several nights. At the peak of the ritual, offerings were made consisting of certain ingredients to be presented to supernatural beings as the rulers of nature. For this practice, there are 3 community groups 1) the abangan group, namely the traditional farmers who still hold the tradition, 2) the santri group, namely the educated community as a group of modern farmers, some of whom still believe and some do not believe because there is already technology that can solve problems, 3) priyai groups, namely village heads. In the past, the village head was the main supporter of the mopo'a huta ritual, while at present, the village head secures himself in the middle position.
ABSTRAK
Ritual mopo’a huta adalah ritual yang dipraktikkan masyarakat Gorontalo ketika musim kemarau tiba. Dengan melaksanakan ritual ini, masyarakat meyakini hujan akan turun serta kesuburan dan kemakmuran akan datang. Ritual ini dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, namun dewasa ini mulai ditentang oleh beberapa kalangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik ritual mopo’a Huta, bagaimana pandangan masyarakat tentang ritual mopo’a huta dengan menggunakan perspektif Geertz. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh penyelenggara, melakukan pengamatan selama prosesi itu dilaksanakan, serta menggali hasil-hasil penelitian terdahulu. Penelitian menemukan bahwa ritual mopo’a huta dalam praktiknya menggelar tarian (dayango) diiringi tabuhan towohu (gendang) selama beberapa malam. Pada puncak ritual digelar sesajian yang terdiri dari bahan-bahan tertentu untuk dipersembahkan kepada mahluk gaib sebagai penguasa alam. Terhadap praktik ini, terdapat 3 kelompok masyarakat 1) kelompok abangan, yaitu kalangan petani tradisional yang masih erat memegang tradisi, 2) kelompok santri, yaitu kalangan masyarakat terdidik sebagai kelompok petani modern, kalangan ini sebagian masih percaya dan sebagian lagi tidak percaya karena sudah ada teknologi yang dapat menyelseaikan masalah, 3) kelompok priyai, yaitu kepala desa. Pada masa lalu, kepala desa sebagai pendukung utama ritual mopo’a huta, sementara pada masa kini, kepala desa berada dipersimpangan.