
Tantangan implementasi pengadaan obat dengan e-purchasing melalui katalog elektronik
Author(s) -
Wijaya Andi,
Yunita Arisanti,
Rimson Sianturi
Publication year - 2018
Publication title -
berita kedokteran masyarakat/berita kedokteran masyarakat
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2614-8412
pISSN - 0215-1936
DOI - 10.22146/bkm.37650
Subject(s) - physics , gynecology , humanities , medicine , art
Berdasarkan Permenkes No. 63 Tahun 2014, seluruh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL Pemerintah melaksanakan pengadaan obat melalui e-Purchasing berdasarkan Katalog Elektronik (e-Catalogue) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama 4 tahun berjalan semenjak ditetapkannya Permenkes No. 63 Tahun 2014, masih banyak kendala yang dialami dalam pengadaan obat dengan e-purchasingmelalui e-catalogue. Belum semua satuan kerja di bidang kesehatan melaporkan RKO (Rencana Kebutuhan Obat) kepada Kementerian Kesehatan. Menurut data Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan selama tahun 2017, satuan kerja baik pemerintah dan swasta yang belum melaporkan RKO sebanyak 1387 atau 46,23% dari total seluruh satuan kerja. Belum ada sanksi tertulis untuk satker yang tidak melaporkan RKO. Padahal RKO inilah yang menjadi acuan kementrian kesehatan dalam penentuan jenis obat dan jumlah yang akan dilelangkan.Realisasi belanja obat pada katalog elektronik hingga 2016 menurut KPK melenceng jauh dari data RKO (hanya mencapai 30-40%). Selain itu data RKO belum terhubung dengan e-catalogue sehingga faskes yang tidak menyampaikan RKO tetap dapat melakukan belanja obat. Hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan obat tertentu yang tadinya tidak masuk dalam RKO, kelebihan stok obat tertentu yang tadinya masuk dalam RKO tapi kemudian tidak dibeli sesuai rencana, dan kerugian untuk industri farmasi yang terlanjur memproduksi obat sesuai dengan jumlah yang tertera dalam hasil lelang. Meskipun telah dibuat e-monev tahun 2016 tapi tidak mengatasi ketidakakuratan RKO karena sosialisasi dan penggunaan yang belum optimal. Kementerian Kesehatan juga perlu memperbaiki mekanisme penyusunan RKO dan validasinya sehingga menjadi data yang akurat, mengoptimalkan penggunaan e-monev dan mensosialisasikannya pada pihak yang terkait, dan mengeluarkan aturan yang lebih tegas bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk faskes/satker yang menyampaikan RKO. Integrasi antara e-catalogue dengan e-monev menjadi hal yang penting untuk diperhatikan sebagai dasar evaluasi pengadaan di tahun berikutnya.