z-logo
open-access-imgOpen Access
The State Penghulu vs The Non-State Penghulu: The Validity and Implementing Authorities of Indonesian Marriage
Author(s) -
Al Fârâbî
Publication year - 2020
Publication title -
justicia islamica/justicia islamica
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2502-7646
pISSN - 1693-5926
DOI - 10.21154/justicia.v17i2.2180
Subject(s) - state (computer science) , law , primary authority , indonesian , ethnography , religious law , sociology , marriage law , political science , legal research , philosophy , islam , theology , linguistics , anthropology , algorithm , computer science
This research gives rise to the following questions: What is a valid marriage? Who holds the authority to grant it? Moreover, how does the existing authority(s) manifest among societies? This inquiry employs the socio-legal method by relying on doctrinal and empirical (ethnographic) approaches to answer these questions. The doctrinal approach applies to the first question and looks at how both the law and case law define a valid marriage. The ethnographic approach applies to the last two questions and looks at this law's functioning among society. As a result, this study reveals that the Marriage Law utilized registration to force people to comply with the law; otherwise, a religious marriage would not have the law force. An exemption applies only to marriages before enacting the Marriage Law, which is liable for retroactive validation. Later, this procedure is extended through case laws that apply isbath nikah (marriage validation) retroactively even to marriages after 1974 to accommodate unregistered marriages pervasive among society. The extended use of isbath nikah has made registration a mere administrative matter which no longer stands as a restriction to a religious marriage. Second, in practice, the judges’ lenient attitude toward isbath nikah has blurred the distinction between registered and unregistered marriages. The fluid distinction between these two provides a basis for Non-State Penghulus to exercise their authority alongside the State Penghulu. In this sense, the Non-State Penghulu appears as an alternative to the State Penghulu invalidating marriage among Muslims.Penelitian ini mendorong pertanyaan-pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan perkawinan sah? Siapa yang berwenang menentukan keabsahan suatu perkawinan? Dan bagaimana otoritas (ragam otoritas) di bidang ini mengambil bentuk di tengah masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan metode sociolegal dengan mengandalkan pendekatan doktriner dan empiris (etnografi). Pendekatan doktriner digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama dengan melihat baik peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun putusan-putusan pengadilan yang terkait. Pendekatan empiris digunakan untuk menjawab dua pertanyaan lainnya dengan melihat bagaimana aturan dogmatik tersebut berfungsi di tengah masyarakat. Sebagai hasilnya, pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan memenfaatan pencatatan sebagai mendium untuk memaksa masyarakat agar patuh terhadap hukum karena jika tidak maka sebuah perkawinan menjadi tidak berkekuatan hukum. Pengecualian hanya berlaku terhadap perkawinan yang diselenggarakan sebelum Undang-Undang Perkawinan yang masih bisa disahkan secara retroaktif. Belakangan prosedur ini diperluas dalam putusan-putusan pengadilan yang memberlakukan isbath nikah (pengesahan perkawinan) untuk mengesahkan perkawinan tidak tercatat, termasuk perkawinan setelah 1974 guna mengakomodir perkawinan tidak tercatat yang marak di tengah masyarakat. Perluasan isbath nikah ini selanjutnya menjadikan pencatatan ini perkara administrasi bukan sebagai pembatas terhadap perkawinan yang dilakukan secara agama semata. Kedua, dalam praktik, sikap lunak hakim dalam menggunakan isbath nikah telah mengaburkan perbedaan antara perkawinan tercatat dengan perkawinan tidak tercatat. Hal ini selanjutnya memberikan landasan bagi Penghulu Non-Negara untuk terus berperan di samping Penghulu Negara. Dalam hal ini, Penghulu Non-Negara muncul sebagai alternatif bagi Penghulu Negara dalam mengabsahkan perkawinan secara agama di kalangan muslim.

The content you want is available to Zendy users.

Already have an account? Click here to sign in.
Having issues? You can contact us here