
Membangun Fiqih Toleransi: Refleksi Fatwa-Fatwa Terhadap “Aliran Sesat” di Indonesia
Author(s) -
Fahruddin Ali Sabri
Publication year - 2018
Publication title -
al-ihkam : jurnal hukum dan pranata sosial
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2442-3084
pISSN - 1907-591X
DOI - 10.19105/al-lhkam.v13i1.1612
Subject(s) - humanities , political science , sociology , philosophy
Sebagai negara yang terdiri dari berbagai ras, suku, bahasa, budaya dan agama, seharusnya Indonesia mampu mengayomi perbedaan-perbedaan yang terjadi. Hal ini telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2. Islam seharusnya mampu teraktualisasi dalam kehidupan nyata ketika berhadapan dengan sebuah realitas historis, sosiologis dan budaya masyarakat. Fenomena aliran yang dianggap sesat ini selalu mendapatkan perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama. Fatwa terhadap “aliran sesat” ini bersifat sebagai nasihat dan tidak mengikat. Pelabelan ini sebenarnya dapat menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan disharmonis antar kelompok masyarakat. Fatwa MUI dan NU ini bukan menyelesaikan permasalahan bahkan dapat menjadikan perpecahan antar kelompok sosial masyarakat, permusuhan dna pertikaian yang merugikan kerukunan nasional. Seharusnya mereka tidak berfatwa menurut hukum normatif yang semata-mata hanya menggunakan pendekatan teologis sehingga lebih bersifat judgmental, hendaknya melihat pada kondisi sosial dan psikologi masyarakat. MUI dan NU hendaknya mengeluarkan fatwa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat menciptakan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara, terwujud dengan sikap saling toleransi, menghormati dan menghargai terhadap keyakinan-keyakinan yang ada. (As a country consisting of a variety of race, language, culture and religion, Indonesia is supposed to maintain and take care of the existing differences. This is legally protected by 1945 Constitution Article 29 Verse 2. However, the phenomenon of some sects considered as deviant shows otherwise. Those sects always get much attention from both Indonesian Council of Ulama’ (MUI) and Nahdlatul Ulama’ which issue some fatwas later on. Those fatwas are actually advisory instead of compulsory. However, the labeling as deviant possibly causes disharmony and disintegration among society. Therefore, those fatwas do not solve the problems. In fact, they would trigger any friction among social groups and lead into any disadvantageous fights which could threaten the national harmony.The process of fatwa making should not be based on the normative laws which solely use and consider theological approach and result the judgmental product of fatwa. Instead, the social and psychological condition of society needs to take into account. MUI and NU need to issue fatwas which consider and put forward the appreciation on the humanistic values to build national harmony with tolerance and mutual respect on every existing belief).