Open Access
Discourse on Penistaan Agama of Basuki Tjahaja Purnama’s Blasphemy Trial in Twitter
Author(s) -
Fardan Mahmudatul Imamah
Publication year - 2017
Publication title -
religio
Language(s) - English
Resource type - Journals
eISSN - 2503-3778
pISSN - 2088-6330
DOI - 10.15642/religio.v7i1.880
Subject(s) - blasphemy , political science , interpretation (philosophy) , religious studies , sociology , media studies , law , philosophy , linguistics
This study was conducted to map and elaborate how blasphemy was understood in social media, mainly Twitter. Beginning with the origins of the blasphemy law and some conflicts triggered by the law, this paper will explain the chronology of Ahok’s case and how it becomes popular within netizen. The questions of the study are how the Indonesian netizen in social media understand the blasphemy case of Ahok and how they try to construct discourse with it. The findings are interrelated the hashtags that led in five issues, (1) the action of defending Islam, (2) defending ulama, (3) Muslim leader, (4) national security, (5) imprisoning Ahok, (6) election of the regional head. The network of actors is exposing the complexity of reactions of netizen. Indonesian netizen in social media understands blasphemy in two ways, using religious discourse and political discourse. The first constructs blasphemy as a threat for religion and state security. The second argues the religious discourse by proving blasphemy as a tool for achieving political power. Various issues are tried to identify “blasphemy” that at the same time used to identify certain groups/actors as enemies or allies. In the process of identification, there emerges similar solidarity in interpreting the “blasphemy” based on a single interpretation of the religious source. However, there also emerges the discussion of how religious interpretation of blasphemy should not be used for political reason.
[Studi ini bertujuan untuk memetakan dan menjelaskan bagaimana penistaan agama dipahami dalam media sosial, khususnya Twitter. Penelitian ini dimulai dengan menjelaskan hukum penistaan agama dan beberapa konflik yang terjadi di Indonesia terkait penistaan agama, yang kemudian secara khusus fokus pada kasus Gubernur DKI Basuki (Ahok) Tjahaya Purnama. Ahok dianggap telah memicu kemarahan Muslim Indonesia karena pernyataanya terkait ayat Al Maidah 51 di pertengahan September 2016. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana netizen Indonesia memahami penistaan agama dalam kasus Ahok dan bagaimana mereka membangun diskursus tentangnya. Dengan menggunakan analisis hashtag dalam Twitter, terdapat beberapa enam isu yang paling mendominasi terkait diskursus kasus Ahok, yakni (1) aksi bela Islam, (2) bela Ulama, (3) kepemimpinan muslim, (4) keamanan nasional, (5) memenjarakan Ahok, (6) pemilihan kepala daerah. Jejaring aktor dalam diskursus ini menunjukkan kompleksitas reaksi netizen. Secara, terdapat dua cara dalam memahami penistaan agama, yakni dengan menggunakan diskursus agama dan diskursus politik. Diskursus yang pertama memahami penistaan agama sebagai ancaman terhadap agama dan negara. Sedangkan diskursus yang kedua memahami penistaan agama sebagai alat politik. Berbagai isu digunakan untuk mengidentifikasi penistaan agama, yang secara bersamaan juga digunakan untuk mengidentifikasi seseorang atau kelompok tertentu sebagai musuh atau sekutu. Dalam proses mengidentifikasi, muncul cara memahami bahwa penistaan agama terjadi karena rendahnya toleransi terhadap pemahaman berbeda atas penafsiran agama yang tunggal. Meskipun, terdapat juga diskusi tentang interpretasi sumber agama yang seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan politik.]