
INDONESIA DI TENGAH BELANTARA DIGITAL
Author(s) -
Yoka Pramadi
Publication year - 2020
Publication title -
jurnal masyarakat dan budaya/jurnal masyarakat dan budaya
Language(s) - Uncategorized
Resource type - Journals
eISSN - 2615-7608
pISSN - 2502-1966
DOI - 10.14203/jmb.v22i2.1117
Subject(s) - humanities , political science , art
Akhir-akhir ini kita sering mendapati kabar bohong atau hoaks yang muncul di lini masa media sosial kita. Menurut laporan isu hoaks dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) pada April 2019 tercatat sebanyak 486 hoaks teridentifikasi, 209 diantaranya adalah hoaks dengan kategori politik. Hoaks dengan kategori politik adalah berupa kabar bohong yang menyerang KPU dan Bawaslu calon presiden dan calon wakil presiden, serta partai politik peserta pemilu. Hoaks jenis itu mencuat karena pada saat itu adalah momen pemilu. Sepanjang Agustus 2018-April 2019 terkumpul laporan sebanyak 1.731 hoaks, terus meningkat pada 17 April saat gelaran pemilu berlangsung. Sebanyak 620 hoaks merupakan kategori politik, 210 hoaks merupakan kategori pemerintahan, 200 hoaks merupakan kategori kesehatan, 159 hoaks merupakan kategori fitnah, dan 113 merupakan kategori kejahatan, dan sisanya isu lainnya (detik.com).
Lalu kenapa penyebarannya sangat begitu cepat dan masif? Tak bisa kita mungkiri, bahwa perkembangan teknologi dan disrupsi di era digital melaju dengan cepat layaknya kendaraan yang melaju di jalan bebas hambatan (tol). Asumsi pengarang buku jagat digital ini akan media sosial adalah sebagai jalan raya gratis yang mana siapa pun dapat menggunakan layanan tersebut. Namun dibalik gratisnya layanan, tanpa kita sadari ada perangkap pengawasan (surveillance) dimana platform penyedia layanan dapat memasangi “jalan raya†tersebut dengan CCTV atau kamera-kamera pengawas. Gerak-gerik pengguna layanan dan data pribadinya terekam oleh kamera-kamera pengawas tersebut.